Khutbatu-l-Arsy Ajang Pelurus Niat Perjuangan

Tahun ini adalah tahun ke-9 aku mengikuti Khutbatu-l-Arsy yang bermakna sudah 8 tahun masuk ke-9 tahun aku berada di Gontor, Indonesia. Pertama kali aku menyertai sebagai santri yang ketika itu berpartisipasi dalam baris-berbaris (LKBB), berdiri, berpanas, dan berlatih setiap hari sampai hari H datang. Sekarang beda pula ceritanya, kini aku sebagai peserta PKU merangkap mahasiswa pascasarjana Unida Gontor, di undang untuk menghadiri, duduk manis bersama snack yang dibagi di atas panggung sambil menikmati seluruh rangkaian acara yang di tampilkan. Begitulah kehidupan, kadang di bawah kadang juga di atas, tidak selamanya di bawah dan tidak selamanya pula di atas.

Pekan Perkenalan Khutbatu-l-Arsy Pondok Modern Darussalam Gontor adalah momen di mana seluruh warga Pondok Modern Darussalam Gontor berkumpul bersama, dari yang paling senior sampailah santri baru. Momen yang diadakan setiap awal tahun sekali ini pasti menjadi cerita istimewa tersendiri. Khutbatu-l-Arsy bertujuan untuk mengenalkan pondok kepada santri baru dan mengingatkan kembali kepada yang sudah lama atau senior tentang kepondokmodernan. Yang aku maknai dengan Khutbatu-l-Arsy ajang pelurus niat perjuangan.

Niat itu perlu di luruskan karena niat itu bisa berubah seiring berjalannya waktu mungkin di sebabkan oleh beberapa faktor. Maka, tidak salah Gontor mengadakan Khutbatu-l- Arsy untuk mengingatkan kembali, kenapa kita ada di sini? Untuk apakah kita di sini? Mahu ke manakah kita? Apa yang kita cari? dan seterusnya. Sehingga akhirnya kita (keluarga besar Gontor) tidak kecewa, tidak mengecewakan dan tidak mengajak kecewa.

Tulisan kali ini tidak untuk mendeskripsikan betapa megah dan hebatnya acara Khutbatu-l-Arsy tahun ini. Tapi penulis ingin menyampaikan tiga poin penting yang berhubungan dengan judul yang telah di sampaikan oleh Bapak Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, KH. H. Hasan Abdullah Sahal. Tulisan yang disampaikan ini adalah penjabaran pemahaman dari penulis sendiri.

Pertama, di dalam diri setiap pejuang harus memiliki prinsip “Di atas hanya Allah, di bawah hanya tanah”. Sebuah kata-kata ringan tetapi berat dalam memaknainya. Ketika prinsip ini sudah ada di dalam hati setiap pejuang, pasti ketakutan tidak akan pernah timbul di celah-celah hatinya. Segala ancaman yang datang tidak menggetarkan, harta yang ditawarkan tidak menggiurkan, kematian depan mata sekalipun tidak menakutkan. Inilah jiwa pejuang yang sebenarnya, pejuang lillahi taala.

Kedua, setiap pejuang itu harus tahu apa yang di perjuangkan. Seluruh ide, sistem, nilai, visi dan misi yang telah di bakukan, di solidkan, di tentukan dan di sepakati mestilah konsisten dan disiplin dalam pelaksanaannya. Oleh itu, setiap pejuang harus mempunyai jati diri, bina diri, jaga diri, dan tahu diri. Kalau tidak, maka pejuang itu akan malu diri, gantung diri dan akhirnya bunuh diri.

Ketiga, yang namanya pejuang itu harus selalu “give, give and give”, tidak boleh “take and give” apalagi “give and take”. Sikap “take” inilah yang akan melahirkan ‘pejuang sampah’ yang menjadikan perjuangan itu ‘sampah perjuangan’. Karena apa yang diperjuangkan itu pasti sia-sia. Pejuang jenis ini hanyalah menjual nama perjuangan untuk mengaut keuntungan bagi dirinya sendiri. Dengan “give, give and give”, seorang pejuang itu akan bersikap all out, maka hasilnya akan 100%.

Berbicara tentang niat dan perjuangan itu sangat luas dan mendalam. Dari ketiga poin di atas, dapat dipahami bahwa menjadi pejuang itu tidaklah mudah. Banyak yang harus dikorbankan termasuk diri sendiri. Sekali lagi, apa yang diperjuangkan itu, niatnya harus di luruskan lillahi taala. Apa yang telah di sebutkan di atas bukanlah teori semata, Gontor telah membuktikannya. Jiwa perjuangan yang ditanam oleh Gontor, menjadikan santrinya tumbuh dan mampu untuk survive di mana pun. Semoga Khutbatu-l-Arsy ku yang ke-9 ini mengingatkanku untuk kembali ke niat asalku untuk terus berjuang mencapai ridho-Nya.