Proyek Dekonstruksi Syariah



Dekonstruksi syariah berlaku disebabkan efek proyek globalisasi dan westernisasi yang dibawa melalui liberalisme atas alasan humanisme. Syariah didekonstruksi karena Islam dianggap sebagai ancaman terbesar pasca runtuhnya sosialisme. Mereka menjalankan proyek ini dengan tiga strategi, pertama, orientalisme dimanfaatkan untuk mengkaji sekaligus mendekonstruksi pemahaman keislaman. Kedua, misionarisme sebagai strategi untuk mempengaruhi umat Islam agar menerima ideologi mereka dan kolonialisme sebagai langkah penaklukan. Dan ketiga, diperlancar dengan penguasaan terhadap media informasi dan komunikasi. Dengan begitu, proyek ini akan lebih mudah dalam pelaksanaannya.
            Dekonstruksi syariah dilakukan dengan desakralisasi syariah sebagaimana yang dilakukan oleh Abdullah Ahmed An-Naim. Menurutnya, syariah hanyalah produk sejarah yang dikonstruksi manusia, yang terus mengalami evolusi untuk guna penyesuaian dengan realitas dengan konsep syariah historis (historical shariah). Dalam pandangannya, umat Muslim akan mengalami kerugian jika tetap memaksa menerapkan syariah dan yang paling dirugikan adalah masyarakat non-Muslim dan kaum wanita. Terlihat bahwa An-Naim di sini melihat syariah hanya konstruksi manusia yang bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman yang mana jelas ia telah menghilangkan peranan Tuhan dalam menentukan syariah.
            Pengaruh ini juga menyebar sampai ke Indonesia. Seorang tokoh Jaringan Islam Liberal, Ulil Absar Abdalla yang menyatakan ketidak percayaannya terhadap hukum Tuhan. Menurutnya, yang ada adalah hukum manusia bukan hukum Tuhan, karena manusialah stake holder yang berkepentingan di dalamnya. Ketentuan seperti qishas atau pemakaian jilbab bagi perempuan, menurutnya hanyalah pengaruh budaya arab. Dari pandangan ini, terlihat bahwa mereka telah merubah paradigma syariah yang berorientasi ilahiyah kepada antroposentris.
            Selain itu, proyek ini juga dilakukan dengan menggugat otoritas ulama seperti Abu Zayd yang melontarkan tuduhan kepada Imam Syafi’i berkenaan dengan metodologi hukum Islam. Menurutnya, Imam Syafi’i sebagai arsitek ushul fiqih yang mempunyai kepentingan dalam mempertahankan hegemoni ke-Quraishan-nya yang membuat pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama lebih kurang dua belas abad karena para pemikir Muslim tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya. Dengan begitu, runtuhlah kepercayaan masyarakat terhadap ulama dan mereka mampu serta bebas dalam menentukan hukum sesukanya.
            Selanjutnya, kritik sejarah atau kontekstualisasi ijtihad juga dilakukan untuk menyukseskan proyek ini. Seperti metodologi istimbat ahkam (ushul fiqih) yang ada saat ini dianggap tidak relevan dan bersifat subjektif-ideologis, sehingga memerlukan metodologi yang lebih objektif. Dalam pandangan Syahrur, hukum Islam terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh yang demikian, tolak ukur kebenaran dalam melakukan interpretasi terhadap teks Al-Qur’an adalah realitas empirik. Sehingga menurutnya, syariah saat ini tidak bisa disamakan dengan syariah zaman dulu karena tidak ada ketentuan hukum Islam yang bersifat permanen dan final. Di sini dapat dilihat bahwa Syahrur lebih mengedepankan realitas daripada ketentuan wahyu.
            Oleh yang demikian, proyek dekonstruksi syariah ini harus dibendung sedini mungkin agar tidak merusak pahaman umat Islam terhadap ajaran agamanya. Di sinilah pentingnya pelajaran dan pendidikan agama bagi anak-anak agar tidak tersesat dengan pahaman-pahaman ngawur zaman modern ini yang dapat merusak aqidah yang sekaligus berpotensi untuk jatuh kafir.

Comments

Popular posts from this blog

Humanisme

Khutbatu-l-Arsy Ajang Pelurus Niat Perjuangan

Pentingnya Sebuah Tulisan