Celakalah Pemimpin yang Tidak Amanah



Pendahuluan

            Pemimpin yang amanah sangat dicari dan dibutuhkan pada saat ini. Kelangkaan sumber daya manusia (baca: pemimpin) jenis ini membuat sebuah tatanan kenegaraan amburadul. Seorang yang dipercaya untuk mewakili rakyat malah menjerumuskan orang yang mempercayainya. Di awal banyak janji-janji yang ditebarkan, setelah terpilih, lupa semua dengan janji-janjinya. Yang ada dalam ingatan dan pikirkannya adalah bagaimana untuk menyejahterakan diri dan keluarga saja.  Terlalu banyak kasus yang terjadi akibat ketidak amanahan ini, terutama kasus-kasus yang berkaitan dengan korupsi. Pada tahun 2018 ini saja sudah mencecah 85 kasus, dan tertinggi adalah pada tahun 2017 dengan 121 kasus (data acch.kpk.go.id). Salah satu contohnya adalah kasus korupsi mega e-ktp yang bernilai triliun rupiah. Siapa yang tidak tergiur melihat nilai uang yang nolnya berjejer panjang ibarat pasukan baris berbaris ini yang menyebabkan kerugian kepada rakyat dan juga negara.

Punca awal dari kasus-kasus yang berlaku adalah disebabkan ketidak amanahan atau dapat disebut sebagai khianat. Mungkin di antara pemimpin-pemimpin yang melakukan tindak khianat ini disebabkan hilangnya rasa takut. Ketika sudah menjabat sebagai pemimpin, merasa paling berkuasa, merasa paling di atas, merasa tidak ada yang berani menegurnya, maka terjadilah pecah amanah di kalangan wakil-wakil rakyat ini. Oleh itu, artikel ini akan membahas tentang beratnya memegang sebuah amanah dan akibatnya bagi pemimpin yang tidak amanah.

Memahami Amanah

            Kata ‘amanah’ adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab dan telah disadur ke dalam bahasa Indonesia. Dalam penyebutannya, ada yang menyebut ‘amanah’ dan ada juga menyebut ‘amanat’. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, ‘amanah’ yang berarti sesuatu yang dapat dipercaya (dititipkan) kepada orang lain. Manakala ‘amanat’ adalah pesan, perintah, keterangan, wejangan. Jadi, kata ‘amanah’ lebih tepat digunakan dalam artikel ini yang berhubungan dengan isu yang akan dibahas.

            Dalam sejarah kehidupan, orang pertama yang berani menerima dan memegang amanah adalah Nabi Adam AS ketika masih di Surga lagi. Ketika makhluk ciptaan Allah SWT yang lainnya menolak untuk menerima karena ketidak sanggupan mereka memegang amanah. Hal ini tertulis dalam al-Qur’an Surah al-Ahzab ayat 72,
Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.
Amanah dalam ayat ini sangatlah luas maksudnya. Dalam tafsir Ibnu Katsir, telah dikatakan oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ad-Dahhak, Al-Hasan Al-Basri, bahwa sesungguhnya amanah yang dimaksud adalah fardu-fardu (kewajiban-kewajiban). Ulama lainnya pula ada mengatakan bahwa amanah ialah ketaatan. Al-A'masy telah meriwayatkan dari Abud Duha, dari Masruq yang mengatakan bahwa Umay Ibnu Ka'b pernah mengatakan, "Amanah termasuk tugas wanita, dia diberi amanah untuk memelihara kehormatannya." Qatadah mengatakan bahwa amanah ialah mengamalkan agama, fardu-fardu, dan hukum-hukum had. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa amanah itu adalah mandi jinabah. Malik telah meriwayatkan dari Zaid Ibnu Aslam yang mengatakan bahwa amanah itu ada tiga perkara, yaitu salat, puasa, dan mandi jinabah. Semua pendapat yang telah disebutkan tidak bertentangan antara satu sama lainnya, bahkan bersesuaian dan bersumber kepada suatu patokan yang mengatakan bahwa amanah adalah taklif dan menerima semua perintah serta larangannya beserta segala persyaratannya. Yaitu apabila dikerjakan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan mendapat siksa. Lalu amanat ini diterima oleh manusia karena kelemahan, kebodohan, dan kezaliman, kecuali orang-orang yang diberi taufik oleh Allah SWT.

            Amanah yang dimaksud penulis di sini lebih condong kepada amanah kepada pemimpin (negara). Seorang pemimpin tidak akan pernah terlepas dari sebuah amanah, entah itu besar atau pun kecil. Hubungan erat antara pemimpin dan amanah tidak dapat dipisahkan. Rasulullah SAW bersabda,
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban terhadap kepemimpinannya. Seorang lelaki menjadi pemimpin dalam keluarganya, seorang wanita menjadi pemimpin di rumah suami dan anak-anaknya. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari)
Setiap amanah yang diberikan pasti konsekuensinya adalah pertanggungjawaban. Ketika di dunia bisa terlepas dari pertanggungjawaban itu tapi di akhirat tidak akan bisa terlepas.

            Munculnya ketidak amanahan itu sebenarnya bermula daripada pemimpin (individu) itu sendiri. Karena keinginannya akan sebuah jabatan kekuasaan, maka dia berusaha untuk mencapainya dengan apa juga cara. Amanah itu bukanlah suatu yang diminta, tetapi suatu yang diberi atas dasar kepercayaan dan kemampuan individu tersebut. Dalam hadist Rasulullah SAW bersabda,
Wahai Abu Dzarr, kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian, kecuali orang yang memang berhak dan menunaikan amanah itu.” (HR. Muslim)
Kelemahan individu dapat dilihat apabila individu tersebut meminta-minta untuk sebuah amanah yang belum tentu dia mampu untuk melaksanakannya bahkan seperti yang disebutkan dalam hadist di atas, akan menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di kemudian hari.

            Oleh yang demikian, bagi para pemilih (anggota, rakyat, bawahan dsb) wajib memilih pemimpin mereka sendiri tanpa tekanan dan pemaksaan dari mana-mana pihak. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA berkata, Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa memilih seseorang menjadi pemimpin untuk suatu kelompok, yang di kelompok itu ada orang yang lebih di Ridhoi Allah dari pada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” (HR. Hakim)
dan hadist ini juga seiring dengan al-Qur’an dalam Surah al-Anfaal ayat 27 yang bermaksud,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”
Tidak hanya memilih pemimpin dari sosoknya saja, tetapi pilihlah pemimpin yang mampu dan berkompeten dalam memegang amanah tersebut. Jika tidak, maka tunggulah saat kehancurannya seperti yang disabdakan Rasullullah SAW,
“Bila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Dikatakan, bagaimana bentuk menyia-nyiakannya?. Beliau bersabda, “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka dapat dilihat asal mulanya permasalahan pemimpin yang tidak amanah ini; pertama, meminta-minta amanah, kedua, salah memilih pemimpin dan ketiga, tidak kompeten atau bukan ahlinya.

Akibat bagi Pemimpin yang Tidak Amanah (Khianat)

            Setiap perbuatan baik akan dibalas dengan kebaikan dan perbuatan buruk juga akan dibalas walaupun hanya sekecil biji sawi. Kata lawan bagi amanah adalah khianat. Orang yang berkhianat apalagi seorang pemimpin tidak akan pernah lepas dari pembalasan Allah SWT. Sudah jelas bahwa orang yang khianat itu tidak beriman. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memegang janji.” (HR. Ahmad). Tidak hanya tidak beriman, tapi juga termasuk dalam golongan orang munafik. Rasulullah SAW bersabda: “Empat hal, barang siapa dalam dirinya ada empat hal tersebut, dia munafik murni, dan barang siapa yang ada sebagian dari sifat itu, dia memiliki sebagian sifat nifak hingga dia meninggalkannya. Yaitu: Jika dipercaya khianat, jika berbicara bohong, jika berjanji ingkar dan jika bermusuhan (berseteru) dia jahat”. (HR. Bukhari Muslim). Menjadi sah apabila Allah SWT ingin menghukum orang-orang yang tidak amanah atau pengkhianat karena mereka munafik dan tidak beriman.

            Sikap ambisius pemimpin-pemimpin dalam mengejar keduniaan membuat mereka jatuh di dalam sesatnya nikmat dunia sehingga mereka lupa akan hari akhir. Mereka lalai terhadap amanahnya, lupa atau pura-pura lupa akan halal-haram dan hilang rasa takut terhadap Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, ujungnya hanya penyesalan pada hari kiamatDi dunia ia mendapatkan kesenangan, namun setelah kematian sungguh penuh derita” (HR. Bukhari). Sudah pasti pemimpin yang seperti ini mendapat laknat Allah SWT. Seperti yang disebutkan dalam Surah Ali Imran ayat 78-79,
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan `Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” 
Kedurhakaan mereka akibat dari sikap khianat ditambah lagi dengan selalu melampaui batas yang menjadikan mereka tidak ada bedanya dengan orang-orang kafir Bani Israil.

            Makhluk ciptaan-Nya yang melakukan dosa pasti tidak akan terlepas dari pembalasan. Mungkin saja akan terlepas di dunia tapi mustahil untuk lepas dari akhirat. Apalagi bagi orang-orang yang berkhianat yang tidak akan dapat bantuan di akhirat. Rasulullah SAW bersabda: “Pertolongan Allah tetap berada pada dua orang yang bersekutu selama keduanya tidak saling mengkhianati. Bila sudah saling mengkhianati maka Allah mencabut pertolongan terhadap keduanya.”. Selain tidak mendapat bantuan, mereka juga akan dipermalukan seperti yang telah dikatakan Rasulullah SAW, “Setiap pengkhianat akan mendapatkan bendera di belakang (bokong). Panjang dan pendek bendera tersebut sesuai dengan kadar pengkhianatannya. Ketahuilah bahwa pengkhianatan yang paling besar adalah pengkhianatan seorang pemimpin terhadap rakyatnya.” (HR. Bukhari). Kesimpulan keseluruhan dari seluruh akibat bagi pengkhianat ini adalah membooking tempat di neraka. Dalam surah at-Tahrim ayat 10 disebutkan,
“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah ke dalam jahanam bersama orang-orang yang masuk (jahanam)”.
Jadi, orang yang tidak amanah alias pengkhianat sudah menempah tiket ke neraka jahanam. Sesungguhnya dosa berkhianat itu tergolong dalam dosa yang besar.

Kesimpulan

            Permasalahan amanah dalam kepemimpinan saat ini sangat mengawatirkan. Ketidak amanahan itu muncul disebabkan beberapa sebab antaranya adalah individu yang meminta-minta amanah, salah memilih pemimpin dan pemimpin yang tidak kompeten. Konsekuensi dari pemimpin yang tidak amanah mengakibatkannya terjerumus ke dalam lembah dosa. Orang yang tidak amanah disebutkan di dalam hadist adalah orang munafik dan tidak beriman. Ditambah pula dengan laknat Allah SWT serta diibaratkan seperti kafir Bani Israil. Dan kelak di akhirat, pengkhianat-pengkhianat ini tidak akan mendapat bantuan, akan di malukan dan sudah menempah tiket ke neraka jahanam. Oleh itu, sungguh merugi bagi pemimpin yang tidak amanah. Jikalau mereka menjadi pemimpin yang adil dan amanah, mereka akan dijamin masuk Surga Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: “Empat hal jika dia ada dalam dirimu, engkau tidak merugi walaupun kehilangan dunia. Menjaga amanah, berkata dengan jujur, berakhlak yang mulia dan menjaga makanan (dari yang haram).” (HR. Ahmad)

Comments

Popular posts from this blog

Humanisme

Khutbatu-l-Arsy Ajang Pelurus Niat Perjuangan

Pentingnya Sebuah Tulisan