Feminisme dan Gender Equality

Tantangan pemikiran Islam kontemporer bukan hanya liberalisme, pluralisme, sekularisme, tetapi feminisme juga adalah salah satu antara tantangan yang terkuat dalam mendekonstruksi agama dan ajarannya. Penuntutan hak dari golongan wanita atau disebut feminist secara kuantitatif 50-50 antara lelaki dan wanita dengan alasan perbedaan peran gender bukan disebabkan kodrati tetapi hanyalah produk budaya. Oleh sebab itu, pemberian hak antara lelaki dan wanita tidak boleh berat sebelah.

            Golongan feminisme selalu memisahkan atau mencoba membedakan antara seks dan gender. Seks itu dibedakan oleh biologis (lelaki dan wanita), merupakan asli ciptaan tuhan, bersifat kodrati, tidak dapat diubah dan berlaku sepanjang zaman. Berbeda dari gender yang mana sifat, peran, posisi dan tanggung jawab adalah hasil konstruksi sosial alias buatan manusia. Gender adalah keterbalikan dari seks yang dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan, kesempatan, komitmen yang tergantung waktu dan kepatuhan budaya setempat. Oleh itu, tidak aneh jika ada statement yang berbunyi “perbedaan pria-wanita hanya pada 3M (menstruasi, menyusui, melahirkan) yang bukan alasan bagi wanita untuk menjadi seorang ibu”. Feminist membedakan seks dan gender, tapi gerakannya berbasis seks.

            Asal mula feminisme dan kesetaraan gender ini adalah bentuk kemarahan dan cita-cita disebabkan ketidakadilan, penindasan dan budaya patriarki (menempatkan lelaki lebih tinggi daripada wanita). Sejarah masa lalu wanita memang dipenuhi dengan kegelapan yang mengakibatkan trauma yang mendalam. Seperti kejadian inkuisisi yang membantai dan menyiksa perempuan, persekusi brutal wanita selama holocaust, dan termasuk zaman jahiliah yang mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Maka, mereka ingin bangkit dari ketertindasan dengan melakukan gerakan-gerakan feminisme dan kesetaraan gender. Atas dasar obsesi kebangkitan ini menyebabkan munculnya cabang permasalahan baru dari sisi teologis, ajaran agama, konstruksi sosial dan ideologi gender yang mana  harus di evolusi menjadi ‘ramah wanita’.

            Pahaman inilah yang menjadi masalah apabila ajaran agama Islam dituntut untuk bersifat feminin dan menyetarakan gender karena dianggap Islam tidak adil dalam memperlakukan antara lelaki dan wanita. Penindasan dalam Islam contohnya seperti istri wajib melayani suami terlihat seperti perbudakan, pembagian hak waris lelaki dapat 2 perempuan dapat 1, batas aurat perempuan lebih banyak daripada lelaki, lelaki boleh berpoligami manakala perempuan tidak dan sebagainya. Mereka inilah orang-orang yang sebenarnya tidak paham Islam dan tidak mau belajar Islam. Mereka lebih berani mengkritik karena lebih mengedepankan hawa nafsu ketimbang berani untuk belajar.

Kemudian, hal ini mengakar dalam pemikiran yang mencetuskan upaya untuk meliberalisasikan al-Qur’an (sebagai sumber ajaran utama agama Islam). Akar pemikiran liberalisasi al-Qur’an terbagi kepada tiga; pertama, teks manusiawi yang sifatnya relatif. Dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia biasa yang tidak terlepas dari melakukan kesalahan karena Baginda adalah manusia maka sifatnya adalah relatif. Kedua, teks linguistik yaitu terpengaruh budaya arab. Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW di tengah-tengah orang Arab dan berbahasa Arab. Ini dipahami bahwa ayat-ayat di dalam al-Qur’an pasti memiliki pengaruh atau kecondongan ke budaya arab. Ketiga, fenomena sejarah. Setiap ayat al-Qur’an harus tunduk pada sejarah turunnya ayat pada waktu itu sebagai benturan ke atas maqasid syariah yang dianggap sudah tidak relevan pada zaman now ini. Tidak hanya al-Qur’an yang mereka liberalkan, hadist, fiqih bahkan aqidah juga mereka jadikan bersifat feminin.

            Program-program nyata gerakan feminisme dan kesetaraan gender antaranya adalah pemberdayaan wanita yang difasilitasi oleh negara melalui kementerian-kementerian. Tujuan pemberdayaan ini adalah untuk menghilangkan feminin mode (pengalaman keibuan) dan mengadopsi sifat maskulin. Jika diperhatikan zaman sekarang, sudah tidak ada perempuan yang mau untuk menjadi ibu rumah tangga dengan alasan tidak berpenghasilan (bergaji). Perempuan-perempuan zaman sekarang bahkan yang sudah bergelar istri tidak sedikit yang tidak bisa memasak dan mengerjakan urusan-urusan rumah. Hingga muncul pemikiran bahwa bukan tanggung jawab perempuan lagi untuk mengerjakan urusan-urusan rumah termasuk urusan anak. Menjadi bertambah ekstrem apabila muncul dalam benaknya bahwa mereka bisa hidup tanpa sosok lelaki dengan bekerja sendiri, hidup sendiri sampai memuaskan nafsu sendiri.

            Tanpa perlu program kesetaraan gender, Islam sudah lama melaksanakan prinsip keadilan gender. Yang harus dipahami adalah kesetaraan (equal) itu belum tentu adil (just) tapi yang adil itu pasti setara mengikut maqamnya masing-masing. Kedudukan manusia dalam Islam tidak didasarkan pada jenis kelaminnya tetapi tergantung kepada taqwanya. Islam tidak menjadikan jenis kelamin sebagai basis ajarannya yang berimplikasi kepada hisab atas dasar amalannya. Perbedaan gender juga tidak menentukan derajat ketinggian surga atau kerendahan neraka yang akan dihuni di akhirat kelak. Islam membuktikan kesetaraan lelaki dan perempuan dalam mendapatkan pendidikan, kewajiban menuntut ilmu fardu ain dan kifayah, setara dalam melakukan transaksi secara mandiri, setara dalam taklid dan independen dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya dan sebagainya.

            Oleh itu, dapat dipahami bahwa perbedaan antara lelaki dan wanita adalah perbedaan yang paling melengkapi, bukan mengurangi. Perbedaan yang ada justru menjadi sumber kedamaian bagi suami istri dengan saling melengkapi. Perbedaan fisik yang terjadi menentukan perbedaan tugas dan tanggung jawab antara lelaki dan wanita. Harus dipahami bahwa perbedaan itu bukanlah perpecahan. Indahnya hidup dalam perbedaan akan dirasai apabila saling memahami. Because respect comes after understanding.

Comments

Popular posts from this blog

Humanisme

Khutbatu-l-Arsy Ajang Pelurus Niat Perjuangan

Pentingnya Sebuah Tulisan